Minggu, 21 April 2013

December.



Desember. Entah mengapa aku selalu menyukai bulan ke dua belas dalam kalender masehi ini. Bulan di mana hujan senan tiasa turun membasahi bumi, membiarkan langit dalam kungkungan mendung tanpa memberikan sedikit celah bagi sang mentari untuk bersinar. Ya, dapat dikatakan hujanlah sang penguasa bulan desember.
Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember. Terdengan mainstream memang. Tapi begitulah kenyataannya. Aku selalu suka ketika bakteri Actinomycetes bereaksi dengan air hujan, membuat spora terbang menuju ke angkasa, dan terhirup oleh manusia, menimbulkan wangi segar yang khas ketika hujan telah selesai turun. Entah mengapa aku merasa wangi itu selalu berusaha mengelitik pikiranku akan kenangan-kenangan di masa lampauku. Kengangan yang sebenarnya sudah lama ku kubur rapat-rapat, entah mengapa selalu meluncur dengan derasnya, usai ku mencium wangi itu.

Desember. Dibulan yang ku sukai ini, aku bersatu denganmu.

Desember. Dibulan yang kusukai ini, aku berpisah denganmu.

Kembali. Kembali aku datang ke tempat kenangan kita. Tempat indah nan sejuk yang hanya kita berdua ketahui. Sore itu, minggu kedua dibulan desember, aku datang lagi ketempat kenangan kita. Entah mengapa aku selalu merasa terikat dengan tempat ini, bahkan hingga saat ini. Saat kamu bahkan tak lagi nyata.

Diiringi gemericik air hujan, susah payah ku daki bukit itu. Dengan segenap hati, ku langkahkan kaki agar segera sampai disana. Dan tibalah aku disana. Masih tempat yang sama. Masih memiiliki aroma pohon oak tua yang sama. Masih memiliki panorama kota yang membentang sejauh mata memandang. Hanya saja, tak ada kamu yang ada disini, menggenggam erat tanganku seolah tak ingin terlepas lagi.

Aku masih sangat ingat ketika pertama kali kamu dan aku datang ke tempat ini. Saat itu, minggu pertama bulan desember, aku dan kamu sedang berlari kecil menghindari hujan yang semakin lebat. aku gunakan jaket kesayanganku untuk menutupi kepala kita dari tetesan air hujan. Ketika sedang berlari, kamu tiba-tiba menarik tanganku menuju arah belakang sekolah. Aku yang keheranan berusaha mencari tahu dan bertanya padamu, mau dibawa kemana diriku. Namun, kamu tidak mengizinkan aku untuk mengetahuinya. Kamu terus menarik tanganku. Dengan susah payah kita mendaki bukit itu dalam keadaan tanah yang becek dan licin. Hingga akhirnya kita tiba di puncak bukit, dan aku sungguh terpesona akannya.

Kamu bercerita bahwa kamu tidak sengaja menemukan tempat ini ketika sedang pulang dari sekolah. Kamu memutar lebih jauh dari arah pulang biasanya karena bosan, dan lalu kamu menemukan jalan setapak menuju bukit ini. Kamu bilang, kamu selalu datang kesini ketika kamu sedang bersedih dan sedang ingin merenung.

Kamu bilang, kamu belum pernah mengajak siapapun datang kemari kecuali aku. Akulah orang pertama yang kamu ajak datang ketempat ini. Kamu bilang, kamu ingin menjadikan tempat ini tidak hanya istimewa untuk kamu, tapi juga untuk orang yang kamu anggap istimewa. Dan akulah yang kamu pilih.

Kembali. Kembali, aku kembali duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu tua dan dipayungi pohon oak besar. Kuhirup aroma tanah yang terkena tetesan hujan. Sungguh menggelitik otakku untuk mengigat kembali kenangan indah antara kamu dan aku.

Kamu dan aku selalu menyempatkan diri pergi ke tempat itu. Meski sulit rintanagan yang harus dihadapi, tapi kamu dan aku tak pernah bosan untuk datang ke tempat itu. Setelah sampai di bukit, kita lalu duduk diatas kursi panjang yang kita buat dari dahan pohon oak tua. Dipayungi rimbunnya dedaunan pohon oak, kamu dan aku berusaha menghindar dari tetesan hujan yang mulai surut. Kamu lalu memeluk tangan kananku dan menyenderkan kepalamu disana. Kamu merasa seolah, tangankulah, tempat ternyaman untuk kamu menyenderkan kepalamu. Kamu juga merasa tangankulah yang paling pas untuk kamu peluk. Kamu bilang dengan memeluk tanganku, sudah dapat membuat kamu nyaman.

Aku hanya dapat mematuk diriku. Belum pernah ada seseorang yang melakukan hal itu padaku sebelumnya. Namun aku merasa nyaman. Lalu, aku senderkan kepalaku di atas kepalamu. Aku belum pernah merasakan rasa nyaman yang seperti ini. Aku tidak ingin hal ini segera berakhir. Andai bisa, aku ingin menghentikan waktu, agar kamu dan aku tetap seperti ini. Sama-sama merasa nyaman.

Kamu dan aku selalu senang berada di sini. Kamu selalu bercerita mengenai keinginnanmu untuk dapat terbang. Kamu ingin bisa menjelajahi cakrawala langit yang membentang luas. ketika angin sedang berhembus kencang, kamu selalu pergi ke tepi bukit, membentangkan tanganmu. Mengizinkan sang angin berhembus melewati rambutmu. Membiarkan sang udara menyentuh pipi merahmu. Kamu bilang, dengan begitu saja, kamu sudah merasa seperti di atas awan. Sedang terbang.

Sudah banyak hari yang kita lalui bersama. Aku tidak pernah bosan jika bersamamu. Aku tidak pernah bosan menatap bola matamu yang biru bagaikan lautan samudra. Aku tak pernah bosan menyentuh tubuhmu yang hangat dan selalu membuatku nyaman. Karena, hanya tubuh kamulah yang pas untuk ku peluk. Aku merasa kamulah yang teristimewa. Aku tak ingin, kamu dan aku harus berakhir. Aku tak ingin, kamu dan aku meiliki batas. Aku ingin, kamu dan aku selalu bersama.

Kembali. Kembali ku tatap cakrawala langit yang tertumpah tinta hitam awan yang menggumul pertanda hujan akan semakin menderas. Namun aku tak peduli. Aku masih ingin disini. Aku masih ingin mengenang ketika kamu dan aku masih menjadi kita. Ketika kamu dan aku adalah satu. Ketika kamu dan aku tak terbatas.

Kembali. Kembali dadaku terasa sesak. Seolah sebuah lubang hitam besar sedang menghisap diriku kedalamnya. Lubang ratapan kesedihan yang semakin lama-semakin membesar. Semakin aku mengingat kamu, semakin besar lupang di dadaku ini.

Hari itu adalah minggu pertama bukan desember setelah 3 tahun kita merajut kasih. Kamu bilang, kamu ingin bertemu denganku, sore ini, di tempat biasa, di tempat istimewa kita. Kamu bilang ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku tentu saja menyetujuinya. Kamu bilang akan menungguku di tempat kenangan kita. Awalnya, aku heran. Karena aku tahu, semenjak kita bersama, kamu selalu takut untuk pergi ke sana sendirian. Namun, tak sedikitpun aku menaruh kecurigaan padamu.

Aku lalu datang ke tempat kenangan kita, diiringin hujan bulan desember yang semakin deras. Aku lihat kamu sedang duduk disana, di kusri tua. Kamu sedang duduk memunggungi diriku yang baru saja sampai.  Aku lalu bergegas menghampirimu. Aku lalu duduk di sisi kirimuu, posisi duduk favoritku.

Belum sempat aku mengangkat mulut, kamu bilang selamat tinggal padaku. Aku tersentak. Jantungku hampir lompat. Kata-kata yang kamu ucapkan seperti petir di siang bolong. Begitu tiba-tiba. Aku lalu bertanya  mengapa kamu berkata seperti itu. Kamu bilang tidak apa-apa. Kamu bilang kamu hanya merasa kamu dan aku tidak bisa bersama lagi. Kamu bilang kita harus berpisah.

Aku heran. Mengapa? Selama 3 tahun kita bersama kita tidak pernah memiliki masalah. Kita bahkan tidak pernah saling berargumen. Kamu dan aku selalu baik-baik saja. Namun sekarang, kamu bilang, kamu ingin berpisah dariku?

Kamu tidak meberika penjelasan apa-apa. Kamu hanya bilang kamu ingin berpisah dariku. Aku menggeggam tangan kamu. Aku tatap matamu, berusaha mencari jawaban disana. Namun yang aku temukan, hanya sepasang bola mata yang berusaha menahan air mata jatuh dari sudut kelopak matamu. Kamu lalu menarik tanganmu dari genggamanku, lalu kau pergi begitu saja, meninggalkan aku sendiri, dengan berbagai pertanyaan yang berkecamukdalam benak. Aku biarkan kamu pergi. Aku tak bisa menahanmu lebih lama disini.

Aku lalu berjalan sendiri menuju rumah, diiringi hujan bulan desember yang semakin menderas. Namun, aku tak mmperdulikannya. Aku masih meratapi kepergian kamu yang begitu saja dan tanpa alasan. Apakah hubungan kita selama 3 tahun ini tidak berarti lagi bagimu?

Kuputuskan untuk mendatangi rumahmu malam ini juga. Aku ingin mencari tahu alasan dibalik ini semua. Hujan tak mampu menahan tekadku untuk datang ke rumahmu.

Hal yang mengejutkan aku temukan saat sampai di rumah kamu. Aku lihat kamu telah terbujur kaku dengan darah di pergelangan tangan kirimu mengalir begitu deras. Tubuhmu dingin, kaku dan membiru. Kamu telah pergi. Kamu telah mengakhiri hidupmu dengan menyata nadimu. Perasaanku kacau balau. Tak tergambarkan, aku mati lemas. Tubuhku hilang keseimbangan. Aku peluk kamu seerat mungkin. Mencari sisa-sisa kehidupan yang mungkin masih ada di tubuh kamu. Namun nihil. Kamu sudah tidak ada.

Lalu, aku temukan secarik kertas yang kau genggam di tangan kirimu. Lalu ku baca. Disana, aku melihat rangkaian kata yang aku yakin itu tulisanmu. Kamu bilang kamu lelah, kamu cape. Kamu bilang kamu ingin mengakhiri segala kesakitan ini. Kamu bilang tidak ingin lebih lama merasa sakit lagi. Kamu bilang kamu tidak ingin mati karena kanker yang terus menggerogoti tubuh kamu. Kamu bilang ingin mati dengan caramu sendiri.

Payung-payung hitam bermekaran. bunga-bunga bertebaran, mengiringi tubuhmu yang akan berpindah tempat. Tubuhmu akan dipindahkan ke bawah tanah. Mengubur tubuhmu dalam gelapnya liang tanah. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa selain selamat tinggal.

Kembali. Kembali aku duduk termenung disini. Di bulan desember, bulan yang selalu aku suka, aku duduk termenung. Menatap langit, menghirup udara, memeluk sunyi. Mengenang kamu. Yang pernah singgah di hidupku. Disini. Di tempat kenangan kita. Dibulan favoritku, di bulan desember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar