Apa jadinya jika seekor burung
gereja kecil mulai bosan dan muak dengan kehidupannya yang fana? Apa jadinya
jika seekor burung gereja kecil mulai berontak dan ingin terbebas dari jemunya
hidup? Tentunya ia akan mencari aktivitas baru untuknya.
Suatu ketika di atap sebuah gedung pencakar langit kota
metropolitan, hiduplah seekor burung gereja betina dengan ke empat anaknya yang
baru saja menetas dengan menyisakan pecahan cangkang telur si sekitar kuitnya
yang masih berbulu jarang. Setiap hari, sang burung gereja betina harus terbang
melayang mengitari seisi kota untuk mencari biji-bijian dan serangga untuk
mengisi perut dirinya dan juga anak-anaknya. Berbagai cara ia lakukan agar
mendapat makanan. Tak peduli ia harus memulung, mencuri, mencicit, asalkan bisa
mendapat makanan, baginya sudah cukup.
Hari demi hari, sang burung
gereja betina lalui dengan mencari makanan dan mengurus anak-anaknya. Ia
lakukan semua itu hanya seorang diri. Mungkin engkau akan bertanya, dimanakah
sang burung gereja jantan?
Sang jantan pergi meninggalkan
sarang peraduan cinta mereka berdua dengan dalih untuk mencari serangga
terlezat yang ada di kota. Awalnya sang betina tidak setuju menolak
mentah-mentah ide sang jantan. Namun, dengan mata berninar-binar dan cicitan janji
manis yang begitu meyakinkan, akhirnya sang betina mengizinkan sang jantan
pergi.
Telah 4 musim ia lewati. Telah 4
musim pula ia menanti sang jantan yang tak kunjung kembali. Ia terus
bertanya-tanya, kemana perginya sang jantan? Sebegitu sulitkah mendapatkan sang
serangga terlezat itu?
Namun, ia masih percaya, sang
jantan akan segera datang. Mungkin itu, besok, lusa atau beberapa hari lagi
sang jantan akan segera datang.
Namun, semakin lama ia menunggu, semakin
terkikis pula kepercayaannya pada sang. Dengan hati yang getir dan sayap yang
mulai merapuh, ia mulai menabahkan hati dan mencoba untuk menghidupi dirinya
dan ke 4 anaknya seorang diri.
Namun, sang burung gereja betina mulai
bosan. Bosan dengan hidupnya yang tanpa tujuan. Bosan dengan kemunafikan dan
pengkhianatan sang jantan. Bosan meratapi nasib yang semakin memburuk.
Sang betina mulai merindukan
kehidupannya dulu. Ya sangat dulu. Ketika itu ia masih sangat muda belia,
cantik, dan terkenal di antara para burung jantan. Banyak burung jantan yang
berusaha merebut hatinya dengan berlomba-lomba membuat sarang terbaik, dan
bercicit semerdu mungkin, tidak lain untuk menarik hati sang betina. Namun,
semua ia tolak mentah-mentah. Ia berhasil mematahkan hati begitu banyak burung
gereja jantan . Dan ada rasa kepuasan tersendiri baginya jika ia berhasil
membuat sang jantan menangis tersedu-sedu, memohon agar ia menerima cintannya.
Hingga suatu ketika, ia bertemu
dengan seekor jantan yang hanya dalam sekali pandang, dapat membuatnya jatuh
cinta. Namun, ia tak mau dengan mudah terbuai dalam janji manis sang jantan. Ia
patok harga tinggi untuk dirinya pada sang jantan jika sang jantan ingin
memiliki sang betina. Sang jantan tak lantas menyerah, ia membuat sarang
terindah dan terbesar yang pernah sang betina lihat, ia mencicit dengan begitu
merdunya, hingga membuat sang betina terbuai dan menerima pinangan sang jantan.
Hari demi hari mereka lalui
berdua, bersama. Dunia seolah telah dalam genggaman mereka. Dan watktu pun
seakan tak dapat memudarkan kasih cinta mereka berdua. Hingga akhirnya sang
betina mengandung anak mereka.
Ia begitu merindukan kehidupannya
yang dulu. Ia rindu menjadi pujaan para jantan. Ia rindu dilayani. Ia bosan
dengan kehidupannya sekaran. Ia muak. Ia ingin mencari kehidupan yang baru.
Hingga suatuwaktu, ketika ia sedang terbang redah dengan goyah
melintasi jalan kota yang ramai, ia menemukan cairan tertumpah dari botol yang
berbau begitu menyengat dan mengundang. Penasaran, ia lalu mendekati botol
tersebut. Itu merupakan pertama kalinya ia mencium bau itu. Bau yang
sungguh memikat. Dengan ragu. Ia mulai
mencicipi cairan itu. Ada rasa pahit dan getir yang timbul dilidahnya. Ia suka
cairan itu. Cairan itu membuai dirinya. Ia terus menenguk cairan itu terus
menerus. Cairan itu memabukkan dirinya. Begitu terbuainya ia hingga ia lupa
akan kesengsaraan dan penderitaan yang ia alami. Ia terus menenguk hingga akhirnya
ia harus berhenti karena mulai merasa pusing dan mulai.
Dengan susah payah, ia mencoba
mengepakkan sayapnya untuk kembali ke sarangnya. Karena ia meminum terlalu
banyak, ia akhirnya tidak mencari biji-bijian untuk anak-anaknya hari ini.
Betapa kecewa anak-anaknya mendengar kabar itu. Ke empat anak-anaknya terus
menerus mencicit minta diberi makan. Dengan kesal. Sang induk mencicit lebih
keras agar anak-anaknya diam.
Sang burung gereja begitu terbuai
akan rasa cairan itu. Cairan itu begitu memabukkan. Ia dibuat terbang melayang
ke langit ke tujuh. Ia dibuat seakan lupa akan kesulitan dan kesengsaraan yang
ia miliki saat ini. Cairan itu menjadi candu baginya.
Kini, ia mempunyai aktivitas
baru. Yakni pergi ke tempat botol itu berada dan meminum sebanyak-banyaknya
cairan itu. Ia tidak lagi mencari biji-bijian untuk anak-anaknya. Setiap malam ketika
induknya pulang, sang anak mencicit-cicit minta makan. Namun induknya hanya
bisa diam. Anak-anaknya pun mencicit makin keras, minta diberi perhatian.
Karena kesal dan sudah naik pitam, sang induk akhirnya mematuk-matuki anak-anaknya
agar diam.
Dan lagi, sang burung gereja
jantan kembali ke tempat botol-botol itu berada. Ketika sedang meneguk cairan
memabukkan itu, ada pemandangan yang tidak asing baginya Ia. melihat
pasangannya – sang burung gereja jantan – sedang berada di dekatnya. Namun, ia
tak sendiri. Ia bersama burung gereja betina lain, dengan bulu lebih berkilau
dan penuh warna. Dengan cemburu dan amarah yang meledak-ledak, ia kemudian
terbang menghampiri sang jantan.
Sang jantan begitu terkejut melihat
kedatangan sang burung gereja betina. Ya, burung gereja yang dulu ia kejar
mati-matian hanya untuk mempermainkan hatinya dan menaklukannnya. Setelah ia
berhasil memperdayanya, ia membuangnya seperti selembar kertas bekas tak
berguna lagi. Sang betina mempertanyakan mengapa ia tak kunjung kembali dan
siapa betina yang ada disampingnya.
Sang jantan dengan santai
menjawab yang sebenanya. Dan betina yang ada di sampingnya adalah pasangan
barunya. Dengan rasa amarah yang berkecamuk di dada, ia berusaha mematuk-matuki
sang jantan. Berusaha menyakiti sang jantan agar ia tahu, betapa sakit dan
terluka hatinya atas perbuatan keji yang telah dilakukan sang jantan padanya.
Sang jantan tak tinggal diam. Ia kemudian mendorong sang betina sekuat tenaga.
Dengan kehilangan kendali sang betina terjatuh, dan sekonyong kemudian, benda
hitam besar berbau karet terbakar telah menghantam mulus tunuhnya. Dengan
terbujur kaku, ia mati dengan meninggalkan luka dan dendam pada sang jantan.
Demikianlah kisah sang burung
gereja betina. Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar