Desember. Entah mengapa aku
selalu menyukai bulan ke dua belas dalam kalender masehi ini. Bulan di mana
hujan senan tiasa turun membasahi bumi, membiarkan langit dalam kungkungan
mendung tanpa memberikan sedikit celah bagi sang mentari untuk bersinar. Ya, dapat
dikatakan hujanlah sang penguasa bulan desember.
Aku selalu suka sehabis hujan di
bulan desember. Terdengan mainstream memang. Tapi begitulah kenyataannya. Aku
selalu suka ketika bakteri Actinomycetes bereaksi dengan air hujan, membuat
spora terbang menuju ke angkasa, dan terhirup oleh manusia, menimbulkan wangi
segar yang khas ketika hujan telah selesai turun. Entah mengapa aku merasa
wangi itu selalu berusaha mengelitik pikiranku akan kenangan-kenangan di masa
lampauku. Kengangan yang sebenarnya sudah lama ku kubur rapat-rapat, entah
mengapa selalu meluncur dengan derasnya, usai ku mencium wangi itu.
Desember. Dibulan yang ku sukai
ini, aku bersatu denganmu.
Desember. Dibulan yang kusukai
ini, aku berpisah denganmu.
Kembali. Kembali aku datang ke tempat
kenangan kita. Tempat indah nan sejuk yang hanya kita berdua ketahui. Sore itu,
minggu kedua dibulan desember, aku datang lagi ketempat kenangan kita. Entah
mengapa aku selalu merasa terikat dengan tempat ini, bahkan hingga saat ini.
Saat kamu bahkan tak lagi nyata.
Diiringi gemericik air hujan,
susah payah ku daki bukit itu. Dengan segenap hati, ku langkahkan kaki agar
segera sampai disana. Dan tibalah aku disana. Masih tempat yang sama. Masih
memiiliki aroma pohon oak tua yang sama. Masih memiliki panorama kota yang
membentang sejauh mata memandang. Hanya saja, tak ada kamu yang ada disini,
menggenggam erat tanganku seolah tak ingin terlepas lagi.
Aku masih sangat ingat ketika pertama
kali kamu dan aku datang ke tempat ini. Saat itu, minggu pertama bulan
desember, aku dan kamu sedang berlari kecil menghindari hujan yang semakin
lebat. aku gunakan jaket kesayanganku untuk menutupi kepala kita dari tetesan
air hujan. Ketika sedang berlari, kamu tiba-tiba menarik tanganku menuju arah
belakang sekolah. Aku yang keheranan berusaha mencari tahu dan bertanya padamu,
mau dibawa kemana diriku. Namun, kamu tidak mengizinkan aku untuk
mengetahuinya. Kamu terus menarik tanganku. Dengan susah payah kita mendaki
bukit itu dalam keadaan tanah yang becek dan licin. Hingga akhirnya kita tiba
di puncak bukit, dan aku sungguh terpesona akannya.
Kamu bercerita bahwa kamu tidak
sengaja menemukan tempat ini ketika sedang pulang dari sekolah. Kamu memutar
lebih jauh dari arah pulang biasanya karena bosan, dan lalu kamu menemukan
jalan setapak menuju bukit ini. Kamu bilang, kamu selalu datang kesini ketika
kamu sedang bersedih dan sedang ingin merenung.
Kamu bilang, kamu belum pernah
mengajak siapapun datang kemari kecuali aku. Akulah orang pertama yang kamu
ajak datang ketempat ini. Kamu bilang, kamu ingin menjadikan tempat ini tidak
hanya istimewa untuk kamu, tapi juga untuk orang yang kamu anggap istimewa. Dan
akulah yang kamu pilih.
Kembali. Kembali, aku kembali
duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu tua dan dipayungi pohon oak
besar. Kuhirup aroma tanah yang terkena tetesan hujan. Sungguh menggelitik
otakku untuk mengigat kembali kenangan indah antara kamu dan aku.
Kamu dan aku selalu menyempatkan
diri pergi ke tempat itu. Meski sulit rintanagan yang harus dihadapi, tapi kamu
dan aku tak pernah bosan untuk datang ke tempat itu. Setelah sampai di bukit,
kita lalu duduk diatas kursi panjang yang kita buat dari dahan pohon oak tua.
Dipayungi rimbunnya dedaunan pohon oak, kamu dan aku berusaha menghindar dari
tetesan hujan yang mulai surut. Kamu lalu memeluk tangan kananku dan
menyenderkan kepalamu disana. Kamu merasa seolah, tangankulah, tempat ternyaman
untuk kamu menyenderkan kepalamu. Kamu juga merasa tangankulah yang paling pas
untuk kamu peluk. Kamu bilang dengan memeluk tanganku, sudah dapat membuat kamu
nyaman.
Aku hanya dapat mematuk diriku.
Belum pernah ada seseorang yang melakukan hal itu padaku sebelumnya. Namun aku
merasa nyaman. Lalu, aku senderkan kepalaku di atas kepalamu. Aku belum pernah
merasakan rasa nyaman yang seperti ini. Aku tidak ingin hal ini segera
berakhir. Andai bisa, aku ingin menghentikan waktu, agar kamu dan aku tetap
seperti ini. Sama-sama merasa nyaman.
Kamu dan aku selalu senang berada
di sini. Kamu selalu bercerita mengenai keinginnanmu untuk dapat terbang. Kamu
ingin bisa menjelajahi cakrawala langit yang membentang luas. ketika angin
sedang berhembus kencang, kamu selalu pergi ke tepi bukit, membentangkan
tanganmu. Mengizinkan sang angin berhembus melewati rambutmu. Membiarkan sang
udara menyentuh pipi merahmu. Kamu bilang, dengan begitu saja, kamu sudah
merasa seperti di atas awan. Sedang terbang.
Sudah banyak hari yang kita lalui
bersama. Aku tidak pernah bosan jika bersamamu. Aku tidak pernah bosan menatap
bola matamu yang biru bagaikan lautan samudra. Aku tak pernah bosan menyentuh
tubuhmu yang hangat dan selalu membuatku nyaman. Karena, hanya tubuh kamulah
yang pas untuk ku peluk. Aku merasa kamulah yang teristimewa. Aku tak ingin,
kamu dan aku harus berakhir. Aku tak ingin, kamu dan aku meiliki batas. Aku
ingin, kamu dan aku selalu bersama.
Kembali. Kembali ku tatap
cakrawala langit yang tertumpah tinta hitam awan yang menggumul pertanda hujan
akan semakin menderas. Namun aku tak peduli. Aku masih ingin disini. Aku masih
ingin mengenang ketika kamu dan aku masih menjadi kita. Ketika kamu dan aku
adalah satu. Ketika kamu dan aku tak terbatas.
Kembali. Kembali dadaku terasa
sesak. Seolah sebuah lubang hitam besar sedang menghisap diriku kedalamnya.
Lubang ratapan kesedihan yang semakin lama-semakin membesar. Semakin aku
mengingat kamu, semakin besar lupang di dadaku ini.
Hari itu adalah minggu pertama
bukan desember setelah 3 tahun kita merajut kasih. Kamu bilang, kamu ingin
bertemu denganku, sore ini, di tempat biasa, di tempat istimewa kita. Kamu
bilang ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku tentu saja menyetujuinya. Kamu
bilang akan menungguku di tempat kenangan kita. Awalnya, aku heran. Karena aku
tahu, semenjak kita bersama, kamu selalu takut untuk pergi ke sana sendirian.
Namun, tak sedikitpun aku menaruh kecurigaan padamu.
Aku lalu datang ke tempat kenangan
kita, diiringin hujan bulan desember yang semakin deras. Aku lihat kamu sedang
duduk disana, di kusri tua. Kamu sedang duduk memunggungi diriku yang baru saja
sampai. Aku lalu bergegas menghampirimu.
Aku lalu duduk di sisi kirimuu, posisi duduk favoritku.
Belum sempat aku mengangkat
mulut, kamu bilang selamat tinggal padaku. Aku tersentak. Jantungku hampir
lompat. Kata-kata yang kamu ucapkan seperti petir di siang bolong. Begitu tiba-tiba.
Aku lalu bertanya mengapa kamu berkata
seperti itu. Kamu bilang tidak apa-apa. Kamu bilang kamu hanya merasa kamu dan
aku tidak bisa bersama lagi. Kamu bilang kita harus berpisah.
Aku heran. Mengapa? Selama 3
tahun kita bersama kita tidak pernah memiliki masalah. Kita bahkan tidak pernah
saling berargumen. Kamu dan aku selalu baik-baik saja. Namun sekarang, kamu
bilang, kamu ingin berpisah dariku?
Kamu tidak meberika penjelasan
apa-apa. Kamu hanya bilang kamu ingin berpisah dariku. Aku menggeggam tangan
kamu. Aku tatap matamu, berusaha mencari jawaban disana. Namun yang aku
temukan, hanya sepasang bola mata yang berusaha menahan air mata jatuh dari
sudut kelopak matamu. Kamu lalu menarik tanganmu dari genggamanku, lalu kau
pergi begitu saja, meninggalkan aku sendiri, dengan berbagai pertanyaan yang
berkecamukdalam benak. Aku biarkan kamu pergi. Aku tak bisa menahanmu lebih
lama disini.
Aku lalu berjalan sendiri menuju
rumah, diiringi hujan bulan desember yang semakin menderas. Namun, aku tak mmperdulikannya.
Aku masih meratapi kepergian kamu yang begitu saja dan tanpa alasan. Apakah
hubungan kita selama 3 tahun ini tidak berarti lagi bagimu?
Kuputuskan untuk mendatangi
rumahmu malam ini juga. Aku ingin mencari tahu alasan dibalik ini semua. Hujan
tak mampu menahan tekadku untuk datang ke rumahmu.
Hal yang mengejutkan aku temukan
saat sampai di rumah kamu. Aku lihat kamu telah terbujur kaku dengan darah di
pergelangan tangan kirimu mengalir begitu deras. Tubuhmu dingin, kaku dan
membiru. Kamu telah pergi. Kamu telah mengakhiri hidupmu dengan menyata nadimu.
Perasaanku kacau balau. Tak tergambarkan, aku mati lemas. Tubuhku hilang
keseimbangan. Aku peluk kamu seerat mungkin. Mencari sisa-sisa kehidupan yang
mungkin masih ada di tubuh kamu. Namun nihil. Kamu sudah tidak ada.
Lalu, aku temukan secarik kertas
yang kau genggam di tangan kirimu. Lalu ku baca. Disana, aku melihat rangkaian
kata yang aku yakin itu tulisanmu. Kamu bilang kamu lelah, kamu cape. Kamu
bilang kamu ingin mengakhiri segala kesakitan ini. Kamu bilang tidak ingin
lebih lama merasa sakit lagi. Kamu bilang kamu tidak ingin mati karena kanker
yang terus menggerogoti tubuh kamu. Kamu bilang ingin mati dengan caramu
sendiri.
Payung-payung hitam bermekaran.
bunga-bunga bertebaran, mengiringi tubuhmu yang akan berpindah tempat. Tubuhmu
akan dipindahkan ke bawah tanah. Mengubur tubuhmu dalam gelapnya liang tanah.
Aku tak bisa mengucapkan apa-apa selain selamat tinggal.
Kembali. Kembali aku duduk
termenung disini. Di bulan desember, bulan yang selalu aku suka, aku duduk
termenung. Menatap langit, menghirup udara, memeluk sunyi. Mengenang kamu. Yang
pernah singgah di hidupku. Disini. Di tempat kenangan kita. Dibulan favoritku,
di bulan desember.